Oleh: D.Wijaya
Untuk menata keinginan, salah satu pembelajaran dari filsafat stoic (stoicism) yang diajarkan kepada pengikutnya adalah berfokus pada bagaimana menafsirkan peristiwa, bukan pada peristiwanya itu sendiri. Cara seseorang menafsirkan peristiwa akan sangat dipengaruhi oleh cara berfikir orang yang bersangkutan.
Bagaimana cara menata pikiran dan juga menata keinginan menurut kaum stoa (pengikut filsafat stoicism), berikut ini catatan kecilnya.
Marcus Aurelius sang Kaisar Romawi yang juga tokoh ternama stoicism membagi pembelajaran bagaimana menggabungkan energinya pada wilayah yang benar dengan mengendalikan pikiran dan emosinya. Pemikiran dan pelatihan stoic-nya memungkinkannya untuk melihat setiap rintangan yang ada sebagai peluang dan tidak terpengaruh tentang apa-apa yang tidak bisa dia kendalikan, melainkan focus pada apa yang ada pada dirinya dan bisa dia kendalikan.
Filosofi stoa mengajarkan bahwa seseorang tidak mau direpotkan dengan segala hal, pendapat, tindakan orang lain yang diluar dirinya. Itu semua di luar kendali dirinya. Kaum Stoa meyakini segala sesuatu yang ada dalam hidup ini hanya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Kategori pertama adalah hal-hal yang mau dan mampu dia kerjakan yang ada dalam kendali dirinya sendiri. Kategori kedua adalah hal-hal yang diluar kendali dirinya, atau segala sesuatu yang ada diluar dirinya yang dia sendiri tidak mau terpengaruh karenanya.
Filosofi stoicism menyarankan bagaimana menjaga pikiran yang tenang dan rasional. Menjaga pikiran tenang dan rasional akan membantu seseorang untuk memahami dan fokus pada apa-apa saja yang dapat dia kendalikan. Pada saat yang sama tidak khawatir tentang apa yang tidak dapat dikendalikan serta mampu menerima apapun yang ada diluar kendalinya itu.
Sejalan dengan alur pikiran Marcus Aurelius (tentu, karena sama-sama stoa) sang kaisar Romawi, Epictetus seorang budak dari Yunani yang juga tokoh ternama stoicism punya pendapat serupa mengenai permasalahan manusia. Dia menyebut demikian “Manusia terganggu bukan oleh hal-hal, tetapi oleh pandangan yang dia ambil dari mereka.” Epictetus meyakini segala permasalahan, gangguan yang ada dalam kehidupan dunia ini diawali dari cara dan pandangan seseorang terhadap segala sesuatu yang ada diluar kendalinya, ini awal masalahnya.
Epictetus juga mengajak umat manusia untuk selalu menimbang baik buruk, dan yang paling penting adalah kebaikan untuk semua pihak, seluas-luasnya bagi kebaikan semesta alam. Bila yang ada disekitar kita tidak ada hubungan dengan diri kita “you are nothing in relation to me” itu akan menghabiskan energi sia-sia, membuat sakit hati, karenanya lupakan saja. Berbahagialah dengan apa yang diri sendiri alami, apa yang dapat dilakukan.
Manusia pada dasarnya terlahir untuk mencari kebahagiaan dan menjadi haknya untuk hidup bahagia. Kunci kebahagiaan itu ada pada keinginannya sendiri, bukan pada yang lain diluar diri. Apabila salah merancang keinginan dan terlibat pada apa yang diluar jangkauan dan kendali dirinya, maka bersiap-siaplah untuk tidak bahagia, bersiaplah untuk menderita. Jangan inginkan sesuatu yang berada pada control orang lain, bila demikian adanya kita akan menjadi budak orang lain dan orang lain yang mengontrol diri kita.
Menata keinginan untuk menuju kepada kedamaian, Epictetus mengajarkan pada pengikutnya tentang dua hal. Dari sisi pribadi, bagaimana seseorang menemukan kebenaran sejati dan kemudian membawa kebenaran itu dalam proses menuju hidup yang bijaksana. Selanjutnya dalam konteks sosial, hidup bersama yang lain, Epictetus mengajarkan kedermawanan berdasarkan ikatan keluarga, cinta dan kasih sayang.