Oleh*): Dr. Anak Agung Bagus Amlayasa,SE,M.Si.; Dkk.
Dua konsep, Akuntansi dan Kanda Pat, sekilas terlihat sangat berbeda. Yang satu adalah disiplin ilmu formal tentang pengukuran, pencatatan, dan pelaporan keuangan, seringkali terkait dengan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) dan kinerja keberlanjutan (Kusumawati et al., 2024; Werastuti, 2022). Disisi lain, terdapat ajaran spiritual dan budaya Bali tentang empat (atau lebih) saudara gaib yang mendampingi manusia dari lahir hingga meninggal (Tonjaya, 2015; Utami et al., 2024). Namun, dalam konteks institusi lokal Bali yang berbasis budaya seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), adakah titik temu atau pengaruh kearifan lokal ini terhadap praktik pengelolaan atau bahkan prinsip-prinsip yang mendasarinya?
Berbagai sumber menjelaskan bahwa Kanda Pat adalah konsep spiritual yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali (Yudhistira & Pendit, 2022). Mereka dianggap sebagai kekuatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan memiliki peran sebagai pelindung (Parsua, 2022). Ajaran Kanda Pat diuraikan dalam lontar-lontar kuno (Tonjaya, 2015) dan memiliki berbagai bentuk (Parsua, 2022), seringkali dikaitkan dengan Sang Hyang Panca Maha Bhuta yang lahir bersama bayi (air ketuban, darah, ari-ari, selaput kulit, dan bayi itu sendiri) (Parsua, 2022; Tonjaya, 2015; Utami et al., 2024). Setiap saudara Kanda Pat memiliki nama, tempat bersemayam dalam tubuh dan alam, serta dikaitkan dengan pura tertentu (Tonjaya, 2015) (Noorwatha & Wasista, 2019). Keyakinan ini sangat mengakar dalam budaya dan pandangan dunia masyarakat Bali (Junaedi et al., 2022).
Menariknya, sumber-sumber secara eksplisit menghubungkan konsep Kanda Pat dengan ajaran Tri Hita Karana. Kanda Pat Manusa merupakan implementasi Pawongan (hubungan harmonis antarmanusia). Kanda Pat Dewa adalah perwujudan Parahyangan (hubungan harmonis dengan Tuhan). Sementara Kanda Pat Bhuta terkait dengan Palemahan (hubungan harmonis dengan alam/lingkungan) (Utami et al., 2024). Tri Hita Karana sendiri disebutkan sangat memengaruhi perilaku masyarakat Bali, termasuk dalam pengembangan ekonomi dan bisnis. Lembaga-lembaga seperti LPD dibentuk berdasarkan aturan adat (awig-awig) dan bertujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui prinsip saling menolong dan tata kelola yang baik , serta menjaga kearifan lokal dan mempercepat pembangunan ekonomi (Junaedi et al., 2022).
Di sisi lain, akuntansi modern (khususnya yang terkait dengan tata kelola dan keberlanjutan) semakin menekankan pentingnya pelaporan kinerja keberlanjutan yang mencakup tiga aspek: ekonomi, sosial, dan lingkungan (Triple Bottom Line – TBL. Studi mengenai Good Corporate Governance (GCG) meneliti bagaimana karakteristik dewan pengurus (seperti ukuran dan pendidikan) memengaruhi kinerja ini. Sumber-sumber juga mencatat bahwa faktor budaya dapat membentuk kepribadian individu dalam memandang masalah, termasuk masalah lingkungan dan sosial, bahkan pada tingkat dewan (Werastuti, 2022).
Dalam konteks institusi seperti LPD yang beroperasi di tengah masyarakat Bali yang kental dengan ajaran Kanda Pat dan Tri Hita Karana, potensi keterkaitan antara Akuntansi/Tata Kelola dan Kanda Pat terletak pada dimensi sosial dan lingkungan dari keberlanjutan. Prinsip- prinsip yang terkandung dalam Kanda Pat, yang dijembatani melalui Tri H ita Karana, menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia (Pawongan/Kanda Pat Manusa), dengan Tuhan (Parahyangan/Kanda Pat Dewa), dan dengan alam (Palemahan/Kanda Pat Bhuta). Meskipun secara tidak langsung menyatakan bahwa Kanda Pat memengaruhi standar akuntansi atau prosedur audit, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang menekankan keseimbangan dan keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan, secara filosofis dapat menjadi landasan budaya yang memengaruhi cara pengelola atau anggota masyarakat adat memandang tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Praktik menghormati Kanda Pat, seperti melalui upacara Otonan, persembahan dan berbagi mencerminkan kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan baik tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia spiritual dan alam (Utami et al., 2024).
Dalam kerangka Akuntansi Keberlanjutan (yang mencakup TBL), aspek sosial (Pawongan) dan lingkungan (Palemahan) adalah komponen penting. Budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Kanda Pat dan Tri Hita Karana ini berpotensi mendorong praktik pengelolaan dan
pelaporan di LPDs atau entitas berbasis adat lainnya yang lebih peduli terhadap dampak sosial dan lingkungan, di samping kinerja ekonomi. Kepercayaan pada karma dan hukum adat, misalnya, dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam pengelolaan dana dan pengembalian pinjaman di LPD (Junaedi et al., 2022). Menjaga keharmonisan dengan alam, sebagaimana ditekankan dalam Kanda Pat Bhuta dan Palemahan, dapat mendorong praktik bisnis yang lebih berkelanjutan secara ekologis.
Dengan demikian, meskipun tidak ada hubungan fungsional teknis langsung antara Kanda Pat dan akuntansi, nilai-nilai spiritual dan budaya yang dijiwai oleh ajaran Kanda Pat, terutama melalui konsep Tri Hita Karana, memberikan fondasi kearifan lokal yang dapat memengaruhi cara institusi berbasis adat di Bali mengelola urusan mereka dengan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, yang sejalan dengan tujuan akuntansi keberlanjutan modern. Ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat relevan dengan praktik pengelolaan dan transparansi, meskipun dalam cara yang bersifat filosofis dan budaya daripada aturan akuntansi formal. (gumikbali.co.id)
*) Dosen Pascasarjana Univeristas Warmadewa