Akhir Agustus 2025 menjadi babak gelap sekaligus reflektif bagi Jakarta (Indonesia). Gelombang demonstrasi massif mengguncang ibu kota, dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap ketidakadilan sosial dan politik yang menumpuk. Buruh turun ke jalan menuntut penghapusan outsourcing, penolakan terhadap upah murah, serta protes atas kemudahan pemutusan hubungan kerja. Mahasiswa turut bersuara, menuntut reformasi politik hingga pembubaran DPR, simbol kegelisahan rakyat terhadap institusi yang dianggap jauh dari aspirasi mereka.
Tuntutan “bubarkan DPR” bukanlah serangan personal terhadap anggota legislatif, melainkan refleksi kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik secara keseluruhan. Masyarakat lelah melihat skandal politik, kasus korupsi, dan regulasi yang merugikan rakyat: mulai dari peraturan yang mempermudah PHK, menurunkan perlindungan buruh, hingga kebijakan ekonomi yang memperlebar kesenjangan sosial. Demonstrasi yang awalnya bernuansa protes damai ini perlahan berubah tegang ketika bentrokan dengan aparat keamanan tak terhindarkan.
Di tengah kerusuhan, tragedi menimpa seorang pengendara ojek online. Nyawanya melayang setelah dilindas patroli polisi, menjadi simbol krisis yang lebih luas: kerentanan pekerja informal di kota besar, yang setiap hari berjuang demi kehidupan yang layak di tengah risiko yang tinggi. Kematian ini menyadarkan publik bahwa ketegangan sosial dapat menelan korban dari mereka yang posisinya paling lemah.
Tragedi itu menimbulkan gelombang solidaritas yang luas. Komunitas ojol dan pekerja informal bersatu, menggalang dukungan bagi keluarga korban, serta menuntut perlindungan hukum dan keselamatan yang memadai. Solidaritas ini melampaui sekadar empati; ia menjadi suara kolektif yang menegaskan bahwa nyawa pekerja harus dihargai dan dilindungi.
Sorotan tidak hanya berhenti di level nasional. Media internasional menyoroti peristiwa tersebut sebagai cerminan ketegangan antara aparat dan masyarakat sipil, risiko pekerja informal, serta tantangan tata kelola politik yang tidak adil. Tekanan global ini menegaskan perlunya pemerintah menimbang kembali kebijakan publik dan menegakkan rasa kemanusiaan sebagai fondasi negara.
Dari tragedi ini, lahir kesadaran kolektif: duka tidak boleh berhenti pada headline atau trending topic. Solidaritas, advokasi, dan perhatian: baik nasional maupun internasional, merupakan bentuk nyata pembelajaran sosial. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa di balik kekuasaan dan regulasi, terdapat nyawa nyata yang menunggu perlindungan, penghargaan, dan keadilan.
Jakarta, Agustus 2025: DPR sedang sibuk “menjaga demokrasi”: alias menjaga jarak aman dari rakyat. Buruh minta upah layak, mahasiswa minta reformasi, tapi DPR sibuk menandatangani regulasi yang bikin rakyat makin berteriak. Polisi siap sedia menjaga ketertiban… dengan “langkah kaki plus roda”: salah satu ojol pun jadi korban, nyawanya hilang tidak sempat protes.
