Di jalan-jalan Jakarta
suara rakyat pecah jadi nyala,
teriak mahasiswa, derap buruh,
dan langkah-langkah yang menuntut adil.

Asap gas air mata menutup langit,
sirine beradu dengan doa yang tercekat.
Di antara barikade baja,
ada darah yang jatuh
tanpa sempat berpamitan.

Affan, namamu diseret roda besi,
tubuhmu ditinggalkan sejarah
seperti tanda seru yang dipaksa bungkam.
Kau tak kembali sebagai anak, sahabat,
kau kembali sebagai tanya yang abadi:
mengapa keadilan selalu terlambat datang?

Agustus—
bulan yang mestinya penuh merdeka,
malah bergetar oleh jerit dan duka.
Namun setiap air mata di aspal hitam
menjadi benih harapan baru:
bahwa rakyat tak bisa selamanya dibungkam,
bahwa keadilan tak bisa selamanya ditunda.

Maka namamu, Affan,
adalah nyala kecil yang membakar ingatan,
agar kita tak lupa:
kemerdekaan bukan hanya bendera di tiang tinggi,
tapi hak hidup setiap manusia di bumi.

D.Wijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *