Di setiap sudut negeri, merah putih masih berkibar, perayaan Kemerdekaan masih terasa, lagu perjuangan masih terdengar, rakyat bergembira merayakan delapan dekade Indonesia merdeka. Namun mendekati akhir agustus 2025, perayaan itu ternoda. Di jalanan Jakarta hingga Makassar, sorak-sorai berubah menjadi teriakan, kembang api digantikan oleh ledakan gas air mata, dan merah bendera bersanding tragis dengan merah darah.
Nama Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, menjadi simbol luka bangsa. Ia tewas di depan Gedung DPR/MPR setelah tubuhnya dilindas kendaraan taktis Brimob dalam kekacauan demonstrasi 28 Agustus 2025. Kematian itu bukan sekadar angka statistik, melainkan wajah nyata dari tragedi: seorang anak muda biasa, yang nasibnya terhenti di aspal panas, justru ketika bangsa merayakan kemerdekaan yang katanya milik semua.
Kematian Affan menyulut bara yang lebih besar. Aksi protes yang semula berangkat dari keresahan ekonomi dan tuntutan keadilan sosial menjalar menjadi kerusuhan meluas. Jakarta memanas, lalu api amarah merambat ke kota-kota lain. Makassar menjadi salah satu episentrum: Gedung DPRD terbakar, asap hitam menjulang ke langit, seakan menuliskan pesan bahwa institusi yang mestinya mendengar suara rakyat justru runtuh dalam kobaran kemarahan.
Penjarahan, bentrokan, dan pembakaran mewarnai hari-hari terakhir Agustus. Banyak yang menyesalkan tindakan destruktif, tetapi tak bisa diabaikan pula bahwa amarah itu lahir dari rasa ketidakadilan yang menumpuk. Bagi sebagian rakyat, kerusuhan adalah bahasa terakhir ketika kata-kata tak lagi digubris.
Ironi pun terasa begitu telak: 80 tahun Indonesia merdeka, rakyat masih harus turun ke jalan dengan risiko kehilangan nyawa hanya untuk menuntut keadilan. Apa arti kemerdekaan bila suara rakyat masih diabaikan? Apa makna delapan dekade merdeka bila darah anak muda harus tumpah di bawah roda kekuasaan?
Tragedi Agustus 2025 menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal usia panjang sebuah negara, melainkan seberapa jauh negara itu mampu menjamin martabat manusia. Kematian Affan adalah pengingat pahit bahwa demokrasi tanpa keadilan hanyalah formalitas. Pembakaran gedung-gedung, betapapun kerasnya, adalah cermin betapa rapuhnya kepercayaan rakyat terhadap wakilnya.
Namun dari puing-puing itu, sejarah selalu memberi pilihan: apakah bangsa ini hanya akan mengingatnya sebagai kerusuhan belaka, atau menjadikannya titik balik untuk berbenah. Karena sejatinya, kemerdekaan yang sejati bukan sekadar dirayakan dengan bendera dan parade, melainkan dengan keadilan yang hadir nyata dalam hidup setiap warganya.
Agustus 2025, dengan segala luka dan apinya, akan tercatat sebagai pengingat: kemerdekaan tanpa keadilan adalah kemerdekaan yang retak./ D.Wijaya
