Catatan : D.Wijaya

Kebijakan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa memindahkan dana Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara menimbulkan kekhawatiran baru di sektor keuangan mikro. Jumlah dana yang digelontorkan tersebut hampir setara dengan total aset Bank Perekonomian Rakyat (BPR) secara nasional. Asset BPR hingga Juli 2025 mencapai Rp 232 triliun.

Selama ini, BPR berperan vital sebagai jembatan keuangan bagi UMKM yang sulit menembus bank bank besar akibat keterbatasan agunan, prasarat dan prosedur, maupun rendahnya literasi finansial. Dengan adanya tambahan likuiditas Rp 200 triliun berpotensi membuat bank-bank besar lebih agresif masuk ke segmen UMKM, yang menjadi basis utama BPR.

Asset BPR dibandingkan dengan perbankan Nasional per juni 2025 hanya 1,6%.  Dengan kebijakan Menkeu yang baru: peran BPR kedepan semakin terpinggirkan. UMKM yang menjadi lahan utama BPR terancam dicaplok. Kesenjangan struktural di instrument keuangan perbankan semakin melebar. Perbankan besar semakin dominan, sementara BPR semakin tidak signifikan, kehilangan relevansi dalam peta keuangan nasional.  

Dari pengantar pendek itu, hipotesanya: “Pemindahan dana Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara berpotensi melemahkan daya saing BPR dalam pembiayaan UMKM.”

Ada beberapa alasan untuk itu: pertama, terdapat ketimpangan akses likuiditas, Himbara mendapat suplai dana jumbo dengan biaya relatif murah, sehingga akan berupaya keras menyalurkan kredit termasuk ke segmen UMKM dengan bunga lebih kompetitif. BPR yang modalnya terbatas akan kesulitan, tidak berdaya.

Kedua, persaingan di pasar usaha mikro kecil selama ini, yang merasa lebih nyaman meminjam di BPR karena faktor kedekatan, kemudahan syarat, dan layanan personal. Dengan adanya dana jumbo dan dorongan kuat pemerintah untuk menyalurkan kredit, bank bank besar akan secara agresif, masif masuk dengan program pinjaman murah ke pasar BPR, debitur eksisting pun bisa berpindah.  

Sambil menunggu ada pihak yang mau menguji hipotesa diatas, penulis tetap memberi ruang dan punya harapan, kebijakan Menkeu positif bagi BPR apabila: Pertama, ada afirmasi kebijakan, misalnya insentif khusus untuk BPR, diajak kolaborasi dengan Himbara sebagai mitra penyalur kredit mikro. Kedua, Pemerintah mendesain skema penyaluran yang memberi ruang bagi BPR agar tidak tersingkir. Dan ketiga, BPR melakukan transformasi digital, sehingga tetap unggul dalam kedekatan layanan dengan UMKM lokal.

Jadi, apakah kebijakan Menkeu Purbaya mengutungkan atau merugikan BPR akan sangat tergantung dari desain kebijakan lanjutan: apakah Menkeu hanya fokus memperkuat bank besar dan  mengurangi peran BPR, ataukah ada porsi khusus bagi BPR, untuk memastikan ekosistem keuangan mikro tetap sehat. (Gumikbali.co.id/D.Wijaya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *