Mogok Karena Rokok, atau Karena Perokok Ditegur?

Artikel detiknews, “630 Siswa SMAN I Cimarga Mogok Sekolah Imbas Kepsek Tampar Murid Merokok” selasa 14 Oktober 2025 mengundang catatan ini dibuat.

Sebuah pemandangan paradoks terjadi di Sekolah Negeri. Ratusan siswa kompak mogok sekolah pada Senin, 13 Oktober 2025. Alasannya: protes terhadap kepala sekolah yang diduga menampar seorang siswa. Siswa itu ketahuan… merokok di lingkungan sekolah.

Di sinilah paradoks itu terjadi: Apakah anak-anak mogok karena menolak asap rokok ada disekolah? atau murid-murid setuju boleh merokok dilingkungan sekolah? belum ada kejelasan untuk ini.

Dalam kejadian ini, semakin sulit memahami hidup dan kehidupan remaja. Merokok di sekolah jelas pelanggaran, saat pelanggarnya ditegur — meski dengan cara yang keliru (tamparan) — justru yang muncul adalah solidaritas besar-besaran. Perbuatan salah jadi pusat pembelaan, sedangkan teguran berubah jadi musuh bersama.

Paradoks ini menyingkap realitas pendidikan kita: yang dilawan bukan kesalahan, tapi otoritas yang menegur kesalahan. Dalam logika ini, perokok bukan pelanggar, melainkan simbol “perlawanan”. Dan guru bukan pendidik, melainkan “penindas”.

Tentu saja, tindakan menampar tak bisa dibenarkan. Namun ironinya, yang justru dilupakan adalah pertanyaan dasar: mengapa ada siswa merokok di sekolah? Apakah wajar solidaritas muncul untuk pelanggaran, sementara nilai-nilai disiplin dibiarkan “terbakar” begitu saja?

Jika diurai lagi, aksi mogok ini sebenarnya berputar di antara dua asap : asap rokok yang nyata nyata sebagai tanda pelanggaran; atau “asap emosional” atas nama solidaritas yang membuat batas benar-salah semakin kabur.

Paradoks: “asap kecil rokok yang ditiup menjadi asap tebal menghalangi jalan murid kesekolah, mulanya pelanggaran kecil berubah menjadi konflik besar”, bukan karena masalahnya tak bisa diselesaikan, tapi karena logika kolektif ikut terbalik. Yang seharusnya jadi pelajaran, justru berubah jadi panggung perlawanan.

Sekolah, idealnya, adalah tempat logika sehat tumbuh. Namun saat asap solidaritas lebih tebal daripada kesadaran moral, maka sulit membedakan mana ruang kelas dan mana arena protes.
Di situlah paradoks ini benar-benar paradoks. (Gumikbali.co.id/D.Wijaya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *