Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengenalkan udeng dan kain tenun endek busana khas Bali kepada para delegasi negara anggota G20 pada rangkaian pertemuan Anti-Corruption Working Group (ACWG).

“Udeng dan kain endek ini adalah kekayaan budaya masyarakat Bali dan Indonesia yang harus kita lestarikan dan banggakan,” kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Melalui G20, kata dia. Presidensi Indonesia turut mengenalkan kearifan lokal kepada dunia. Apalagi, kedua busana tersebut merupakan salah satu kearifan lokal dan budaya masyarakat Bali yang sampai hari ini masih lestari.

Ia mengatakan bagi masyarakat Bali, khususnya laki-laki, udeng bukan hanya sekadar ikat kepala biasa. Namun, lebih dari itu, udeng merupakan simbol dari pemusatan pikiran atau “ngiket manah”.
Hal tersebut, katanya, tercermin dari bentuk udeng yang tidak simetris. Ciri khas udeng sendiri berada pada desain yang bentuknya lebih tinggi pada bagian kanan. Maknanya ialah setiap pemakainya didorong untuk berusaha berbuat kebaikan.

Arah kanan dipercaya merepresentasikan kebaikan dalam menjalani kehidupan. Pada ikatan tengah kening memiliki makna pemusatan pikiran. Sementara, ikatan yang menunjuk ke arah atas merupakan representasi dari pikiran yang lurus ke atas sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan Sang Pencipta Kehidupan, jelas dia.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, bagian depan udeng yang lancip dan tegak lurus ke atas dimaknai sebagai komitmen integritas, kejujuran, dan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Harapannya setiap orang yang memakainya bisa menjauhi tindak pidana korupsi dalam setiap aktivitas sehari-hari karena tuhan selalu mengawasi,” ujar dia.

Sama halnya dengan udeng, kain endek juga memiliki filosofi mendalam bagi masyarakat Bali karena digunakan untuk kepentingan ritual adat. Endek berasal dari kata “gendekan” atau “ngendek” yang artinya diam atau tetap.

Kain endek dibuat dari benang sutra yang membentuk pola-pola berwarna emas atau perak. Untuk kegiatan adat, desain yang digunakan membentuk motif patra dan encak saji. Motif ini cukup sakral karena memiliki makna setiap orang harus memiliki rasa hormat pada Sang Pencipta Kehidupan.
Sumber : Antara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *