Oleh: D. Wijaya
Kebebasan sering dikaitkan dengan kebahagiaan. Persepsi kebahagiaan setiap orang berbeda. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa kebahagian itu adalah kalau sudah mendapatkan apa yang dimau, pekerjaan sesuai harapan, kalau sudah kaya-raya, jabatan tinggi dan mendapat penghormatan masyarakat.
Kebebasan itu sejatinya suatu nilai kemanusiaan yang dapat menjamin individu, seseorang untuk mendapatkan kebebasan memilih, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebebasan itu tidak adanya penindasan, pemaksaan kehendak dan kesetaraan dalam hukum. Awal kemunculan semangat kebebasan adalah pada zaman Renaisans, masa di mana masyarakat Eropa berusaha membebaskan dirinya dari kekuasaan yang membatasi kebebasan orang untuk berpikir. Perkembangan selanjutnya muncul kebebasan dibidang politik, diawali pemikiran Montesquieu dan Rousseau dengan adanya revolusi di Amerika dan Prancis. Termasuk juga pada jaman kemerdekaan Indonesia untuk membebaskan diri dari praktik kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Tidak hanya dalam ususan negara, sosial kemasyarkatan, dalam urusan pribadi, setiap individu ingin mendapatkan kebebasan. Bebas mengekspresikan pribadinya dalam batasan batasan norma sosial dan norma kesusilaan yang ada. Pada posisi demikian ini diperlukan ruang untuk privasi seseorang. Jangan mencapuri urusan pribadi orang terlalu jauh yang berakibat pada dilanggarnya privasi dan kebebasan seseorang.
Menghargai privasi orang lain dalam bahasan ini dapat diartikan suatu sikap yang tidak terlalu peduli pada orang lain, jangan sampai orang lain tersinggung ketika seseorang mengejar apa yang tidak boleh orang lain ketahui. Rasa peduli yang berlebihan tidak ubahnya dengan sifat posesif. Posesif adalah satu sifat yang merasa menjadi pemilik atas yang lain. Secara psikologi, posesif memiliki arti sikap yang terlalu mengontrol, mengatur, atau menguasai orang lain sehingga kebebasannya merasa dirampas. Atas nama mahluk sosial, kepedulian pada orang lain sangat penting, namun demikian, tidak cukup alasan untuk memantaskan setiap orang boleh tahu semua masalah orang lain.
Memiliki rasa peduli pada seseorang, apalagi pada orang yang disayang, sangatlah manusiawi. Bahkan, jika kita tidak memiliki rasa peduli, bisa jadi kemanusiaan kita dipertanyakan. Peduli adalah salah satu bentuk dari cinta dan kasih sayang. Ketika orang lain memerlukan bantuan, wajar mendapat pertolongan, walau tidak berarti menjadi alasan untuk mengorek-ngorek segala sesuatu yang menjadi privasinya, ingin tahu sesuatu yang orang lain tidak ingin mengetahuinya. Untuk itu, sediakan ruang bahwa tidak semua orang, tidak semua masalah dapat diketahui, dicampuri orang lain.
Bila sekali waktu kita menanyakan masalah yang bersifat pribadi, tetapi orang lain tidak memberi jawaban yang memuaskan, stop sampai disitu, jangan sekali-sekali diteruskan, hargai pendapatnya itu sebagai privasi. Namun tanpa disadari, seringkali kelewat batas dalam menaruh rasa peduli. Peduli yang berlebihan pada orang lain akan memproteksinya dari sesuatu yang menurut kita buruk, padahal belum tentu demikian adanya. Disinilah sumber masalahnya. Mungkin karena penjelasan serupa diatas, Albert Camus sang filsuf, penulis, dan jurnalis Prancis penerima Hadiah Nobel Sastra (1957) mengatakan demikian “Agar bahagia, kita tidak boleh terlalu peduli dengan orang lain.”
Tidak terlalu peduli dengan orang lain, sebagaimana dimaksud Albert Camus diatas, dapat dimaknai memberikan kebebasan kepada setiap orang, dan setiap orang diharapkan mampu memegang kendali atas sesuatu yang terjadi pada dirinya. Itulah kebebasan yang membahagiakan.