Perajin batu bata di Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar terus kebanjiran orderan. Untuk melayani orderan, perajin mengaku kesulitan untuk mengejar target waktu. Perajin memohon bantuan mesin kepada pemerintah.
Owner batu bata Eka’S, Ngakan Nyoman Susila atau yang biasa dipanggil Kanman mengaku harga batu bata kini kian tinggi. Saat pandemi bata hanya Rp 2.000. Untuk per seribu menjadi Rp 2 juta. Kini, per seribu mencapai Rp 5,5 juta. “Harga naik, karena bahan baku minim. Orderan meningkat,” ujarnya Sabtu, 26/9/2023 di rumahnya Banjar Meranggi Desa Tulikup Gianyar. Diakui, perajin kini menikmati hasil dari menggeluti kerajinan bata. “Dari perajin hingga pemberi bahan mentah ikut kena imbas,” jelas dia.
Kini, produksi sehari bisa mencapai 300 yang dihasilkan bata super. “Permintaan banyak, sampai kewalahan. Kami ngirim sampai ke Tabanan, Buleleng, Tampaksiring, dagang sanggah juga membeli disini,” jelasnya.
Diakui, sesama perajin Tulikup saling kerja sama. “Kalau habis di saya, ambil di tetangga. Namun krena stok minim, harga jadi minm,”ungkap dia.
Meski harga bata naik, keuntungannya sebanyak 20 persen saja. “Dari harga pokok dikurangi operasional, transport dan angkut, jadi 20 persen masuk keuntungan,”ungkap dia. Diakui, bahan baku agak sulit. Bahan diperoleh dari Desa Keramas, Blahbatuh. “Bahan baku juga naik,” ungkap dia.
Dikatakannya, banyak proyek dari pemerintah pada tahun ini menggunakan bata merah. “Apalagi banyak bansos keluar dari pemerintah. Banyak pembangunan,” jelas dia. Untuk pembuatan dari nol, pembakaran hingga bata jadi butuh proses sebulan. “Sekali produksi 15 ribu bata. Bahan dari tanah, saang, cetakan hingga pembakaran 3 hari non stop,” jelas dia.
Bata yang dihasilkan juga banyak menghias pura di sejumlah daerah di Bali. “Kalau balai banjar banyak,” ujar pengusaha yang bergelut 23 tahun tersebut.Diharapkan, agar pemerintah membantu proses menggunakan mesin. “Ada mesin seperti di Pejaten Tabanan pakai mesin. Kam di Tulikup manual. Untuk modal kami dulu pinjam di BPD berupa KUR sebanyak Rp 500 juta,” jelas dia.
Astungkare, dari bata ini, ia bisa menghidupi keluarga dan 5 orang pekerja bata. “Hasil kotor bisa Rp 10-15 juta per bulan,” jelas dia. Dia juga berharap, agar masyarakat terus mempercayakan bata Tulikup sebagai pilihan. “Agar masyarakat bisa melihat produksi kita, karena lebih bagus, dijamin kualitas bagus,” tutup dia. (K.Yes/gumikbali)