Oleh: D.Wijaya
==============
Catatan kecil ini terlecut dari pemaparan materi Ekonom Senior Nasional Ryan Kiryanto, dalam acara Gathering and Capacity Building anggota APEX BPR Bank BPD Bali, pada Jumat 16/08/2024 di Sanur- Bali. Pemateri mempertegas penyampaian dari ketua DPD Perbarindo Bali, Ketut Komplit terkait dengan rendahnya kemampuan BPR Bali untuk menyalurkan kredit.

LDR BPR Bali berkisar 65 persen, lebih rendah dari angka nasional, sementara itu pertumbuhan DPK lebih tinggi dari kemampuan menyalurkan kredit. Hal ini berdampak pada menurunnya net interest margin dan juga berisiko pada negative margin.

Tampak lalulintas jalan raya ramai dan macetnya kota Denpasar (Bali) dalam satu tahun terakhir, tidak (untuk mengganti kata belum) berdampak banyak pada pemulihan ekonomi, apalagi membangkitkan industry BPR di Bali. Hal ini terkonfirmasi dari rasio-rasio keuangan BPR Bali lebih rendah dari nasional, return on asset (ROA) BPR Bali secara agregat tertatih tatih, belum mampu sentuh angka 1 (bersyukur tidak minus), rasio NPL lebih tinggi dari rata rata nasional.

Banyak pihak berpendapat: trend pertumbuhan ekonomi Bali sudah nampak, narasumber diatas menyebutnya “Bank follow the economic”, bank bertumbuh mengikuti perkembangan ekonomi, saat yang sama disebutkan juga bahwa “economy driven by politics”. Hal yang terakhir ini mendorong penulis untuk meminta konfirmasi dan bertanya langsung ke narasumber. “KUR adalah produk politik yang menjadi pesaing bisnis BPR”, akankah KUR akan berakhir, atau sebaliknya terus menerus meningkat?.

Rendahnya kemampuan BPR Bali menyalurkan kredit tidak terlepas dari persaingan bisnis yang semakin ketat. Tidak saja keberadaan lembaga keuangan non Bank yang tumbuh subur, lembaga keuangan non bank lokal Bali juga mendapat tempat dihati masyarakat, asetnya lebih tinggi dari BPR. Selain itu, kebijakan KUR terus menggerus bisnis BPR. Setidaknya, penulis menjadi saksi, tidak sedikit debitur sudah di takeover bank plat merah penyalur KUR. Belum lama, BPR tempat penulis bekerja harus banting rate untuk merayu debitur tetap bertahan tidak tergiur KUR.

Di akhir acara itu, penulis sempatkan waktu untuk mengutarakan pendapat ke narasumber. BPR tidak hanya mengeluhkan kehadiran KUR, tetapi juga menawarkan solusi kecil berikut. “kenapa pagu Bank Umum (BU) yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyalurkan kredit (KUR) ke UMKM (20%), tidak dipercayakan kepada BPR (melalui linkage) untuk disalurkan ke UMKM.

UMKM selalu dielu elukan menjadi tulang punggung ekonomi Bangsa, tahan terhadap krisis, dan seterusnya. Perhatian kepada UMKM digandeng sebatas kepentingan politik, ketua DPD Perbarindo Bali menyebut “BPR sebagai industri lokal, Bank milik Anak Negeri punya fungsi penting dalam membangun ekonomi lokal, sudah seyogjanya dijaga dan ditingkatkan kapasitasnya melalui pembatasan area persaingan antara “gajah sama semut”.

Sekiranya ada political will pemerintah untuk “berbagi tugas”, niscaya sebagian tugas pemerintah untuk menyalurkan kredit UMKM melalui linkage BPR dengan BU, akan terselesaikan. Untuk diingat ada 1600 BPR di Indonesia, (131 diantaranya ada di Bali) yang kabarnya akan diciutkan hingga mencapai kurang dari 1000.
Linkage BPR dengan BU sangat ketat, keberpihakan kepada BPR untuk turut menggarap 20% pagu BU menyalurkan kredit ke UMKM sampai saat ini tidak nampak.

KUR terus meluncur deras, subsidi diperbesar, ironisnya upaya untuk menciutkan jumlah BPR sudah dirasakan pengurus (pemilik) BPR. Bila catatan kecil ini tidak meleset, jelaslah sudah, bisnis BPR dengan modal inti 6 milyar yang DNA nya lahir untuk membiayai UMKM tidak akan mampu bersaing dengan bank yang mempunyai infrastruktur, teknologi, SDM dan Modal yang besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *