Catatan Kecil Oleh : D.Wijaya
Manusia dan kemanusiaan dihadapan Sang Pencipta
tidak ada bedanya dengan ciptaan lainnya,
Hidup dan mati adalah sama,
Hidup dan mati adalah perjalan suci,
Perjalanan suci menuju Sang Pemilik Jiwa Sejati,
masalahnya,
apakah bekal di sepanjang jalan itu
berdasar kepada: Satyam, Siwam, Sundaram,
kebenaran, kesucian, dan keindahan.
Syair pendek diatas dilantunkan untuk mengawali “Upakara Kala Mahakali” karya penulis dan sutradara Surya Chintya Dharma pada Selasa 10 Juni 2025, nuju bulan Purnama Sasih Sadha tahun saka 1947 yang dipentaskan di Plaza Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Tidak membayangkan sebelumnya akan berani tampil bernyanyi dan bersyair di depan dosen, pecinta dan penggiat seni pertunjukan, teater apalagi, kecuali karena alasan “dipaksa” Surya Chinyta Dharma, sang sutradara yang sedang menulis karyanya untuk menunaikan tugas akhirnya pada program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
Malam bulan purnama ketika upakara dimulai, sesaat sebelum syair itu diucapkan, aku sempatkan juga untuk menyanyikan sebuah tembang “Nyanyian Tuhan Bremare Ngisep Sari” sebagai bentuk permakluman, permohonan maaf sekaligus keberanian mengantarkan doa layaknya seorang “pemangku“ untuk “upakara Kala Mahakali”. Yang ada hanyalah doa, kata maaf dan permohonan kepada Hyang Maha Kawi untuk kelancaran, kesuksesan penyelenggaraan “Upakara Kala Mahakali” itu.
Mendengar tutur sang sutradara, Chintya “Upakara Kala Mahakali” adalah bagian kecil dari Serat Calon Arang karya Cok Sawitri yang dimodifikasi dengan gaya “kejam” Artaud. Teater Kejam (Theatre of Cruelty) yang dikembangkan Antonin Artaud, menekankan pada teatrikal yang intens dan mengejutkan, yang bertujuan untuk mengguncang penonton dan membangkitkan emosi kuat melalui penggunaan bahasa, gerakan, suara, dan efek visual yang ekstrem. Sebut saja actor-aktor yang menari dengan keris terhunus dan ditusuk-tusukkan pada tubuhnya sendiri, ada juga adegan menggunakan pandan berduri untuk memukul-mukul sekujur tubuhnya sendiri dan actor lainnya, memotong dan meminum darah segar ayam serta adegan adegan keras lainnya.
Chintya sang sutradara menghadirkan dimensi mistis dalam “Upakara Kala Mahakali”, sudah dimulai sejak awal pertunjukkan, pemangku melantunkan doa didepan watangan (jenazah) untuk kemudian diantar ke kuburan. Dilanjutkan kemudian dengan lantunan pupuh ginada basur yang menggambarkan puncak amarah Calon Arang di kuburan pada tengah malam, dengan menyembah-nyembah Dewi Durga lengkap dengan membawa sesaji, sanggah cucuk, ngelekas (berubah wujud) menyeramkan dengan kekuatan sihir dan ilmu hitam mengakibatkan gerubug, bencana penyakit yang mematikan penduduk di Kerajaan Kahuripan.
Untuk yang pertama, dan (bisa jadi) yang terakhir kali menjadi bagian kecil memerankan “pemangku” dari sebuah drama tari teater, dimana penulis dan sutradaranya adalah putriku sendiri, tentu hal ini menjadi tantangan, kebanggaan, sekaligus pengharapan semoga pertunjukan “Upakara Kala Mahakali” dapat berkesan, menghibur penonton yang hadir dan yang paling utama adalah tugas akhir tesis putriku Surya Chintya Dharma dapat lulus dengan nilai yang memuaskan. Astungkare/D.Wijaya-Jogyakarta