Oleh: D.Wijaya
Pagi itu, udara kantor belum sempat hangat oleh kesibukan. Telepon di mejaku berdering pelan, seperti mengetuk hati sebelum mengetuk logika. Di seberang sana, suara yang ramah namun penuh maksud menyapa,
“Pagi, Bapak… boleh tahu berapa simpanan si A? Bibi saya, yang menabung di tempat Bapak bekerja.”
Pertanyaan yang terdengar ringan, nyaris seperti basa-basi keluarga. Tapi saya tahu, itu bukan pertanyaan biasa. Ada ujian kecil yang tengah menyelinap lewat kabel telepon, mengetes batas antara hubungan darah dan sumpah profesi.
Saya tarik napas sebentar, lalu menjawab dengan pelan,
“Pagi… Bos ngetes saya, ya? Bukankah kita tak boleh membocorkan simpanan milik orang lain?”
Tak ada balasan. Hanya keheningan yang kemudian diputus tegas oleh bunyi gagang telepon dikembalikan ke tempatnya seolah kecewa, atau mungkin malu.
Bagi sebagian orang, permintaan itu tak berarti apa-apa. Tapi bagi saya, di sanalah benteng dijaga. Sebab di dunia keuangan, kepercayaan bukan sekadar janji kerja, melainkan napas lembaga. Dan kerahasiaan nasabah adalah tembok suci yang tak boleh retak, tak peduli siapa yang mengguncangnya.
Menjadi pemimpin, kadang bukan soal mengambil keputusan besar di ruang rapat megah. Kadang, ia hadir dalam senyap, dalam detik hening saat kita memilih berdiri untuk sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa: nilai.
Sejak hari itu, saya belajar satu hal penting: Tegas pada prinsip bukanlah keras kepala, tapi cara paling tenang untuk menjaga martabat, baik milik lembaga… maupun milik diri sendiri.