D.Wija

Di sebuah desa kecil yang sunyi, tinggal seorang lelaki bernama Surya. Ia bukan orang kaya, bukan pula tokoh penting. Tapi hatinya hangat, selalu ingin menolong, selalu ingin menjadi cahaya bagi orang lain, meski hanya sejumput.

Setiap kali melihat tetangganya membawa karung beras sendirian, ia ingin membantu. Saat mendengar kabar ada anak yang tak bisa bayar sekolah, ia ingin menyisihkan sedikit dari penghasilannya. Namun semua itu hanya tinggal niat. Karena setiap kali ia hendak berbuat, ada suara dari balik pintu rumah yang menghentikannya.

“Kamu itu terlalu baik. Dunia tidak butuh orang bodoh seperti kamu.”
“Kalau kamu bantu orang, siapa yang bantu kita?”
“Nanti mereka makin manja. Jangan ikut campur.”

Itulah suara Lestari, istrinya, keras, dingin, tak pernah percaya pada kebaikan orang lain. Baginya, dunia adalah tempat yang penuh tipu daya. Dan Surya, yang masih percaya bahwa kebaikan bisa mengubah sesuatu, hanyalah pemimpi naif dalam matanya.

Mula-mula Surya membantah. Ia bicara, menjelaskan, meyakinkan. Tapi perdebatan hanya membawa jarak dan diam yang makin panjang. Ia lelah. Maka ia mulai menyimpan niatnya sendiri.

Ia tersenyum pada anak kecil di gang, tapi tidak sempat memberi. Ia menatap nenek tua membawa beban, tapi tangannya tetap di saku. Ia mendengar suara tangis dari rumah sebelah, tapi menutup jendela perlahan. Bukan karena tak peduli, tapi karena lelah dipertentangkan di rumah sendiri.

Hari demi hari, hatinya menjadi sumur yang dalam. Kebaikan yang ia simpan tak pernah sempat mengalir keluar. Ia merasa berdosa karena tidak berbuat, dan makin berdosa karena menyerah.

Orang-orang mulai mengenalnya sebagai pria yang dingin, pendiam, dan tertutup. Tak ada yang tahu, dulu ia pernah ingin menjadi guru di pelosok, relawan, pemilik panti asuhan. Kini, semuanya dikubur. Bukan karena ia berubah jadi jahat, tapi karena kebaikannya tidak punya tempat untuk tinggal.

Dan pada suatu malam yang hening, di ruang tamu yang lampunya redup, Surya menulis di buku kecilnya: “Aku tak pernah berhenti ingin berbuat baik. Tapi dunia ini, atau mungkin hidupku, tak memberi ruang untuk itu. Maka aku memilih diam. Tapi diam ini bukan karena aku tidak peduli. Aku hanya tak bisa lagi menjelaskan luka yang timbul setiap kali aku mencoba.”

Ia menutup buku itu, menyimpannya di bawah bantal. Dan sejak saat itu, Surya hidup dalam diam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *