Gelombang unjuk rasa akhir Agustus 2025 di Jakarta bukanlah peristiwa tiba-tiba. Ia adalah puncak dari tumpukan kekecewaan masyarakat. Buruh menuntut penghapusan outsourcing, menolak upah murah, dan menjerit atas PHK yang semakin mudah. Mahasiswa menolak politik elitis yang jauh dari rakyat.

Masyarakat marah melihat pajak rumah melonjak drastis, sementara para wakil rakyat justru menaikkan tunjangan mereka. Semua keresahan itu tumpah ke jalan: suara rakyat yang selama ini terpinggirkan, menggema di depan gedung parlemen.

Di tengah hiruk pikuk politik dan kepentingan, ada satu wajah yang tak berniat ikut berteriak: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Malam itu ia melewati jalan, mengantar pesanan makanan untuk pelanggan. Sebuah pekerjaan sederhana yang bagi Affan berarti nafkah, tanggung jawab, dan masa depan keluarganya.

Tetapi di jalan raya yang berubah jadi arena ketegangan, nyawanya melayang—terlindas kendaraan taktis Brimob yang melaju kencang. Affan menjadi simbol yang pahit: rakyat kecil yang terhimpit oleh dua dunia yang tak ia pilih. Dunia aparat yang mengejar ketertiban, dan massa yang menuntut keadilan. Sementara Affan sendiri hanya mencari nafkah.

Peristiwa ini memaksa kita merenung: Untuk siapa negara ini berdiri? Jika di antara gedung megah yang dijaga mati-matian, seorang pekerja informal bisa tewas sia-sia, tidakkah ada yang keliru dalam menimbang prioritas? Apakah kekuasaan begitu buta hingga melupakan kemanusiaan? Seharusnya, tugas negara bukan hanya meredam kerumunan, melainkan menjamin setiap nyawa warga, sekecil apapun perannya, terlindungi.

Ironi itu menoreh luka: seorang pemuda berusia 21 tahun, tulang punggung keluarga, tewas di antara demo masa dan aparat yang bertugas. Keluarga Affan menangis lirih, sebab kehilangan nyawa tidak pernah bisa diganti, bahkan oleh kemenangan politik atau keberhasilan tuntutan.

Tragedi kemanusiaan ini juga melahirkan solidaritas. Rekan-rekan ojol mengawal jenazah Affan, publik bersuara lantang menuntut keadilan. Dari situ kita belajar: kemanusiaan kadang baru terasa ketika ada yang jadi korban. Nyawa Affan menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka pajak, undang-undang, dan strategi politik, ada manusia yang nyata, dan manusia itulah yang seharusnya menjadi pusat segala keputusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *