Kemaren, Jumat 29 Agustus 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) genap berusia delapan puluh tahun. Dalam rentang waktu panjang itu, lembaga legislatif ini telah melalui pasang surut sejarah, dari masa perjuangan kemerdekaan, era reformasi, hingga dinamika politik kontemporer. Namun, alih-alih disambut dengan perayaan meriah, HUT ke-80 DPR RI justru diwarnai oleh gelombang demonstrasi besar yang mengepung Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Momentum ini menyimpan ironi. Seharusnya, ulang tahun menjadi saat untuk merayakan pencapaian sekaligus mengintrospeksi diri. Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hubungan DPR dengan rakyat belum sepenuhnya harmonis. Demonstrasi yang berhasil menembus pagar DPR adalah simbol betapa kuatnya keresahan publik terhadap kinerja wakil rakyat yang dianggap masih jauh dari harapan.
Hujan deras sempat mengguyur kawasan Senayan, seakan mencoba meredam panasnya situasi. Namun, setelah hujan reda, massa kembali memenuhi halaman depan gedung DPR, melanjutkan teriakan dan tuntutan mereka. Fenomena ini seolah melambangkan bahwa aspirasi rakyat tidak dapat dibendung hanya dengan momentum peringatan formalitas, melainkan harus direspons dengan perubahan nyata.
Dalam pidato singkatnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat dan menegaskan komitmen untuk terus berbenah. Pernyataan tersebut penting, tetapi ia juga menegaskan tantangan: apakah DPR mampu mengubah kritik dan kemarahan publik menjadi energi untuk memperbaiki sistem representasi rakyat di masa depan?
HUT ke-80 ini bukan sekadar penanda usia, melainkan pengingat keras. Bahwa legitimasi sebuah lembaga demokratis bukan datang dari bangunan megah atau perayaan formal, melainkan dari kepercayaan rakyat yang diwakilinya. Tanpa itu, peringatan apa pun akan kehilangan makna.
Di tengah sorak-sorai demonstrasi, ulang tahun DPR RI kali ini menjadi cermin: perayaan ditunda, tetapi momentum refleksi justru dipercepat. Dan mungkin, di balik suasana panas ini, tersimpan peluang bagi DPR untuk menuliskan babak baru—lebih dekat dengan rakyat, lebih terbuka terhadap kritik, dan lebih tulus dalam menjalankan amanah konstitusi.
Gedung DPR yang megah di Senayan kembali menjadi panggung, bukan panggung perayaan, melainkan arena orkestra rakyat. Musiknya: teriakan tuntutan, Drum-nya: suara pentungan dan pagar besi yang digoyang. Hujan sempat turun, seakan Tuhan memberi jeda agar DPR bisa menyiapkan naskah jawaban. Tapi sayang, naskah itu tetap sama: “Kami mohon maaf, kami akan berbenah.” /D.Wijaya
