Di Makassar, malam tak lagi tenang.
Gedung DPRD berdiri seperti saksi bisu,
dindingnya retak,
jendelanya pecah,
hingga akhirnya api menjilat tiang dan atapnya.

Bukan sekadar kayu dan besi yang terbakar,
tetapi amarah yang lama dipendam rakyat.
Setiap lidah api adalah teriakan,
setiap percikan bara adalah tuntutan
yang tak pernah didengar.

Api itu,
ada yang menyebutnya vandalisme,
ada yang menyebutnya pengkhianatan,
namun bagi yang hatinya patah,
itu hanyalah cara terakhir
untuk membuat penguasa menoleh.

Makassar malam itu menyala merah,
di antara asap dan jeritan,
ada harapan yang terbakar,
ada luka yang lahir,
ada ingatan yang tak bisa dihapus. Sebab sejarah mencatat:
ketika suara tak lagi diindahkan,
api bisa lebih lantang dari kata-kata

D.Wijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *