Catatan Kecil: D.Wijaya
Tidak banyak pejabat Negara yang “berani” mengambil langkah besar hanya dalam hitungan hari setelah dilantik. Menteri Kuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dilantik pada 8 September 2025 menggantikan Sri Mulyani Indrawati, empat hari kemudian pada 12 September langsung mengeluarkan kebijakan berani: memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia untuk disalurkan ke bank-bank Himbara.
Momentum dan keberanian itu nyata. Dilantik Senin, 8 September, hanya dua hari berselang beliau sudah Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI. Dua hari kemudian, kebijakan penting pun lahir. Begitu cepat, hingga muncul tanya: kapan dan bagaimana semua materi itu disiapkan?. Apakah keputusan secepat ini benar-benar menjawab kebutuhan, atau justru melahirkan masalah baru? Di balik keraguan itu, tersimpan juga harapan besar.
Kecepatan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dan ekonomi. Perekonomian Indonesia sedang menghadapi tantangan serius: pertumbuhan melambat, dunia usaha kesulitan akses kredit, dan dana pemerintah terlalu lama “diam” di Bank Indonesia. Dengan langkah cepat, Purbaya menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pejabat baru yang menunggu adaptasi, melainkan pemimpin teknokrat yang siap bergerak.
Keberanian ini juga merupakan pesan politik: Kementerian Keuangan tidak boleh pasif. Dana negara harus bekerja untuk rakyat, bukan sekadar tercatat di neraca kas Negara. Langkah Menkeu yang baru ini sederhana dalam logika, namun besar dalam dampak.
Uang Rp 200 triliun yang tadinya “menganggur” di BI kini berubah menjadi likuiditas tambahan bagi perbankan. Dengan masuk ke Himbara: bank-bank milik negara yang menguasai pangsa pasar kredit nasional, diharapkan dana tersebut segera mengalir ke sektor riil: UMKM, dan industri produktif.
Menteri Purbaya rupanya ingin menciptakan efek ganda: Bank-bank tidak lagi kekurangan likuiditas untuk menyalurkan kredit; Perekonomian riil kembali bergerak karena kredit lebih mudah diakses; dan Pemerintah menunjukkan keberpihakan pada pertumbuhan inklusif, bukan hanya stabilitas makro semata.
bagaimana dengan risiko dan tantangan. Tentu saja, keberanian ini tidak bebas risiko. Pertama, bank harus benar-benar menyalurkan dana ke sektor produktif, bukan sekadar menempatkan kembali dalam instrumen keuangan jangka pendek, beli surat utang negara misalnya. Kedua, penambahan likuiditas besar bisa menimbulkan tekanan inflasi jika tidak dibarengi dengan pengendalian harga dan suku bunga yang baik. Ketiga, transparansi menjadi kunci agar langkah ini tidak dicurigai sebagai bentuk “subsidi likuiditas” kepada bank tanpa manfaat nyata bagi rakyat.
Makna Simbolis, dari kecepatan langkah ini lebih dari sekadar kebijakan teknis, juga punya makna simbolis. Dalam empat hari, Purbaya ingin menunjukkan bahwa: Ia sangat memahami urgensi ekonomi nasional; Ia berani mengambil risiko politik dan teknis; dan menteri Purbaya menggeser paradigm bahwa “uang negara bukan sekadar saldo, tetapi alat penggerak ekonomi rakyat”. Selamat pak Menteri, semoga harapan masyarakat dapat ditunaikan. (Gumikbali.co.id/D.Wijaya)
