Catatan: D.Wijaya

Pergantian Menteri Keuangan selalu menimbulkan harapan sekaligus keraguan. Setiap figur baru membawa paradigma, strategi, dan keberanian yang berbeda dalam mengelola arsitektur fiskal. Demikian pula Purbaya Yudhi Sadewa, yang resmi dilantik pada 8 September 2025 menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Publik ekonomi langsung dibuat terperangah: hanya dalam hitungan hari, sebuah kebijakan berani diumumkan: pemindahan dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke instrumen keuangan yang sebagian besar disalurkan melalui bank-bank Himbara.

Langkah ini adalah “eksperimen besar” karena dua hal. Pertama, keberanian mengambil keputusan cepat di tengah masa transisi kepemimpinan fiskal yang biasanya cenderung hati-hati. Kedua, besarnya dana yang digelontorkan, setara dengan hampir sepersepuluh APBN, yang segera mengubah arus likuiditas di sistem perbankan nasional.

Bagi pasar keuangan, keputusan ini ibarat guncangan sekaligus sinyal optimisme. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi signifikan, sebagai respons normal terhadap perubahan arsitektur kebijakan. Investor bertanya-tanya: apakah ini langkah strategis jangka panjang, atau sekadar dorongan jangka pendek untuk menjaga momentum?

Namun yang paling menarik adalah dampak kebijakan ini bagi sektor riil, khususnya UMKM dan lembaga keuangan mikro seperti Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Bank Himbara, dengan akses likuiditas tambahan, berpotensi lebih agresif menyalurkan kredit. Jika diarahkan dengan tepat, UMKM bisa menjadi penerima manfaat terbesar: bunga kredit lebih murah, akses pinjaman lebih luas, dan dorongan pertumbuhan ekonomi akar rumput yang nyata. Di sisi lain, kebijakan ini juga menjadi ujian berat bagi BPR.

Selama ini, BPR berfungsi sebagai ujung tombak pembiayaan UMKM di daerah yang tidak terjangkau bank besar. Masuknya dana jumbo ke Himbara bisa memperkuat posisi bank-bank besar dalam menyasar segmen UMKM, yang berpotensi menimbulkan persaingan ketat dengan BPR. Jika BPR tidak bertransformasi: baik dalam digitalisasi, kualitas layanan, maupun efisiensi, maka ruang geraknya bisa semakin terjepit.

Karena itu, eksperimen fiskal Purbaya bukan hanya soal bagaimana pasar modal merespons, melainkan juga soal bagaimana keseimbangan ekosistem keuangan dijaga. Di satu sisi, peluang besar terbuka bagi UMKM untuk naik kelas. Di sisi lain, BPR perlu mengantisipasi agar tidak tergilas dalam kompetisi likuiditas yang semakin timpang.

Kebijakan ini adalah pertaruhan: apakah keberanian Purbaya akan tercatat sebagai momentum baru dalam demokratisasi akses keuangan, atau justru menjadi koreksi besar yang harus segera diperbaiki. Satu hal yang pasti, publik kini menunggu, dengan harap sekaligus waswas, ke mana arah “eksperimen besar” ini akan membawa perekonomian Indonesia. (Gumikbali.co.id/D.Wijaya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *