KOMPAS.TV menyiarkan secara langsung – Presiden Prabowo menyaksikan Kejaksaan Agung penyerahan Rp13 triliun uang pengganti kerugian negara dalam kasus ekspor CPO kepada Menteri Keuangan RI pada Senin (20/10/2025). Usai menyaksikan penyerahan uang itu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pesan yang menilai kasus CPO sangat kejam dan tidak manusiawi. Presiden menilai kasus CPO dapat digolongkan ke dalam subversi ekonomi.
Subversi Ekonomi dan Krisis Moral
Presiden Prabowo Subianto menyebut kasus ekspor minyak sawit mentah (CPO) sebagai tindakan “kejam, tidak manusiawi, bahkan bentuk subversi ekonomi.” Ungkapan keras ini bukan hanya karena datang dari seorang kepala negara, tetapi karena menyingkap kasus korupsi besar yang berdampak memiskinkan jutaan rakyat.
Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, jutaan hektar lahan telah ditanami sawit. Namun ironisnya, pada puncak krisis minyak goreng beberapa waktu lalu, rakyat harus antre dan berebut untuk mendapatkan sebotol minyak goreng di negeri yang menjadi sumbernya. Di sinilah letak kejamnya kenyataan yang dimaksud Prabowo: rakyat dibiarkan lapar di tengah lumbungnya sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan ekonomi bukan semata soal produksi, tetapi tentang distribusi keadilan. Ketika keuntungan hanya berputar di lingkaran kecil pengusaha besar dan pejabat yang bersekutu, maka sistem ekonomi kehilangan ruhnya sebagai alat pemenuhan kesejahteraan bersama.
Istilah “subversi ekonomi” yang digunakan Prabowo memuat makna yang dalam. Subversi berarti tindakan yang merongrong kedaulatan negara, bukan dengan senjata, tetapi dengan manipulasi kebijakan dan penguasaan sumber daya. Dalam konteks ini, pengusaha yang menimbun, mengekspor secara berlebihan, dan mengabaikan kewajiban pasokan dalam negeri telah melakukan bentuk pengkhianatan ekonomi.
Subversi ekonomi bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi penghancuran kepercayaan publik terhadap sistem negara. Ketika rakyat menyaksikan bahwa kepentingan segelintir orang bisa mengalahkan kepentingan jutaan warga, maka runtuhlah moral ekonomi bangsa. (Gumikbali.co.id/D.Wijaya)
