Relasi dengan Pengikut

    Kepemimpinan diikuti secara sukarela karena rasa hormat, kepercayaan, dan keyakinan terhadap nilai serta integritas pemimpin. Para pengikut merasa terinspirasi, merasa didengar, dan terlibat dalam proses bersama. Kepemimpinan yang otentik tidak memer- lukan paksaan, karena pengikut memilih untuk mengikuti dengan hati yang rela. Dalam situasi ini, kehadiran pemimpin bukan hanya memandu arah, tetapi juga menguatkan rasa memiliki dan kebanggaan pada tujuan bersama. Loyalitas tumbuh bukan dari aturan, melainkan dari rasa saling menghargai.

    Kekuasaan ditaati karena kewajiban, tekanan, atau bahkan rasa takut. Ketaatan sering muncul dari struktur hierarkis atau ancaman sanksi, bukan karena pengikut benar-benar setuju atau percaya. Relasi yang terbangun lebih bersifat transaksional dan terkadang manipulatif, bukan relasional atau emosional.

    Akibatnya, pengikut cenderung bersikap patuh di depan, tapi pasif atau bahkan secara diam-diam menentang di belakang. Ketaatan di sini rapuh hanya bertahan selama ada ancaman atau keuntungan, dan mudah runtuh ketika sumber tekanan atau imbalan sudah hilang.

    Ketergantungan

    Tanggungjawab pada Posisi Kepemimpinan akan tetap berpengaruh meski tanpa jabatan, tidak tergantung pada jabatan formal. Pengaruh seorang pemimpin sejati tetap terasa bahkan setelah ia tidak lagi memegang posisi. Kepemimpinannya melekat pada karakter, visi, dan nilai yang ia bawa, bukan pada simbol atau pangkat. Inilah sebab- nya mengapa ada orang yang tetap dihormati dan diikuti meskipun sudah tidak lagi berkuasa.

    Kekuasaan bergantung pada jabatan dan akses terhadap sumber daya. Begitu posisi atau wewenang resmi dicabut, pengaruhnya menghilang. Kekuasaan bersifat struktural dan temporer, sehingga wibawa pemiliknya mudah luntur ketika tidak lagi berada da- lam sistem yang memberinya legitimasi. Seperti bayan- gan, kekuasaan ada selama ada cahaya jabatan.

    Moralitas

    Kepemimpinan, selalu melekat pada nurani dan etika. Kepemimpinan sejati tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab moral kejujuran, keadilan, empati, dan integritas. Seorang pemimpin tidak hanya mempertimbangkan apa yang bisa dilakukan, tetapi juga apa yang seharusnya dilakukan. Ia menjadi penuntun arah bukan hanya secara strategis, tetapi juga secara etis.

    Kekuasaan: Bersifat netral, seperti pisau: bisa digunakan untuk melindungi atau melukai. Kekuasaan hanya alat—bagaimana ia digunakan, bergantung pada niat dan nilai orang yang memegangnya. Tanpa kendali moral, kekuasaan mudah berubah menjadi tirani. Namun di tangan orang bermoral, kekuasaan bisa menjadi alat untuk keadilan dan kesejahteraan. …Bersambung…D.Wijaya

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *