Relasi dengan Kebenaran
Pemimpin bersandar pada kebenaran, meskipun tidak populer. Ia berani bersuara meski sendirian. Sedangkan penguasa, kekuasaan sering kali membentuk “kebenaran” sesuai kehendaknya, demi legitimasi dan kelangsungan kuasa.
Seorang pemimpin sejati tidak menjadikan kebenaran sebagai alat politik, tapi sebagai kompas moral. Ia tahu bahwa kebenaran tak selalu disukai, dan sering kali justru menimbulkan perlawanan. Tapi ia tetap memeluknya, meski harus berjalan sendiri.
Penguasa, di sisi lain sering kali memelintir kebenaran menjadi alat pembenaran. Apa yang ia katakan dianggap benar, bukan karena berdasarkan nilai, tapi karena ia punya kuasa untuk menyuruh orang percaya. Bukan karena ia benar, tapi karena ia bisa membuat orang diam.
Dalam dunia yang dipenuhi kebohongan kolek- tif, keberanian untuk mengatakan kebenaran — meski pahit, atau menyakitkan — adalah bentuk kepemimpi- nan yang paling langka.
“Pemimpin sejati berpihak pada kebenaran, bukan kepentingan. Ia tetap berdiri, meski sendirian, selama nuraninya tegak. Sebaliknya, penguasa kerap memelintir kebenaran demi mempertahankan kuasa.”
Cara Menghadapi Kritik
Pemimpin sejati terbuka terhadap kritik, bahkan menjadikannya bahan refleksi. Penguasa cenderung alergi pada kritik; ia membungkam, bukan mendengarkan. Pemimpin sejati tidak membangun benteng dari pujian, tapi membuka jendela untuk kritik. Ia sadar bahwa kepemimpinan bukan tentang merasa benar, tapi terus belajar untuk menjadi lebih bijak. Kritik bukan ancaman, tapi cermin — yang kadang menyakit- kan.
Penguasa, sebaliknya, sering terjebak dalam ego. Kritik dianggap penghinaan, perbedaan dianggap pemberontakan. Ia lupa bahwa kekuasaan yang tidak mau dikritik akan berubah menjadi tirani yang buta bisu.
Sikap terhadap kritik adalah cermin kedewasaan kepemimpinan. Pemimpin sejati mem- buka diri untuk mendengar, belajar, dan memperbaiki. Sementara penguasa takut kritik karena mengancam citranya. Bagi yang berani jujur pada diri sendiri, kritik bukan ancaman—tapi obor kesadaran.
Ketulusan dalam Melayani
Kepemimpinan tumbuh dari niat melayani, bukan menonjolkan diri. Kekuasaan sering dilandasi: ambisi, citra, pamor, atau kepentingan pribadi. Kepemimpinan sejati lahir bukan dari keinginan dilihat, tapi dari kebutuhan untuk berbuat. Ia hadir karena peduli, bukan karena ingin dipuja. Ia bekerja dalam diam, bukan tampil dalam sorotan. Ketulusan menjadi bahan bakarnya, bukan ambisi.
Kekuasaan, sebaliknya, sering tumbuh dari has- rat menonjolkan diri. Banyak yang tampak melayani, tapi diam-diam menghitung tepuk tangan. Mereka lebih sibuk menjaga citra, daripada mendengar nurani rakyat. Kekuasaan menjadi panggung, bukan ruang pengabdian.
Ketulusan membuat kepemimpinan menyentuh hati dan bertahan lama, bahkan tanpa sorotan. Semen- tara kekuasaan yang didorong ambisi, hanya bersinar sesaat—terang karena panggung, bukan karena makna. /D.Wijaya
