OLeh: D.Wijaya

Banyak pemimpin publik modern salah kaprah dalam memahami peran mereka. Alih-alih menjadi pelayan bagi perubahan, mereka justru menjelma menjadi penjaga status quo. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat. Lihatlah praktik politik yang ada. Jabatan diperebutkan dengan segala cara, tetapi setelah terpilih, kekuasaan digunakan untuk mengamankan posisi, bukan menggerakkan perubahan. Ini bukan kepemimpinan, ini sekadar manajemen kuasa.

Banyak orang mengira bahwa begitu seseorang menduduki posisi tinggi, otomatis ia adalah pemimpin. Padahal, jabatan memberi kekuasaan, bukan otomatis memberi kepemimpinan. Seorang pemimpin tanpa nilai justru bisa menjadi penguasa yang berbahaya. Ketika keputusan dibuat demi kepentingan diri atau kelompok tertentu, bukan untuk ke- baikan bersama, kepemimpinan kehilangan maknanya.

Ketika Kekuasaan Menyamar

Ketika Kekuasaan Menyamar Jadi Kepemimpinan, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah pemalsuan kepemimpinan. Gaya bicara motivasional, pencitraan sosial media, dan program populis sering digunakan untuk menyamarkan kekuasaan sebagai kepemimpinan. Tapi rakyat sebenarnya tahu.

Ketika kekuasaan memakai topeng kepemimpinan, ia bicara tentang visi, tapi tujuannya hanya gengsi. Ia berteriak “demi rakyat”, tapi yang dimaksud “rakyat” adalah kroninya sendiri. Pemimpin macam ini hanya merendah di depan kamera, tapi menindas dalam ruang rapat. Ia menebar senyum di baliho, tapi menggertak di balik meja kuasa.

Kekuasaan yang menyamar jadi kepemimpinan lahir dari ambisi yang dibungkus pencitraan. Mereka pandai bersandiwara: menyebut dirinya pemimpin visioner, padahal hanya pemburu proyek. Membanggakan program populis, tapi tidak membangun keberdayaan. Mengajak bicara soal nilai, tapi alergi terhadap kritik, dan menjanjikan perubahan, padahal hanya memperkuat status quo.

Ketika kekuasaan menyamar jadi kepemimpinan, maka rakyat kehilangan arah, nilai dikalahkan oleh kepentingan, dan kebenaran dibungkam oleh kenya- manan. Tugas kita hari ini bukan hanya memilih pemimpin, tapi membuka kedok para penguasa yang berkostum pemimpin.

Kesombongan: Kekuasaan Paling Licik

Tidak semua yang tampak seperti pemimpin, benar-benar memimpin, ada yang bersuara lembut, tapi menghukum dalam diam. Ada yang berkata bijak, tapi tak tahan dikritik. Ada pula yang tersenyum seperti pelayan, tapi di balik senyum itu ia sedang membagibagi piring untuk dirinya sendiri dan kelompoknya, lalu menyisakan remah untuk meja rakyat.

Pemimpin macam ini percaya bahwa karena memegang kekuasaan, otomatis tindakannya adalah demi rakyat. Padahal kekuasaan hanya memberi alat, bukan jaminan kebaikan. Seolah tanpa dirinya, organisasi atau negara tidak bisa jalan.

Itulah penyamaran kekuasaan yang paling berbahaya, berbicara tentang perubahan, namun pada dasarnya menuntut kepatuhan, bukan kesadaran. Kekuasaan yang paling licik adalah kesombongan, karena kesombongan tidak membutuhkan kekuatan fisik, cukup merasa paling benar. Ia tak perlu menindas secara terang, cukup menyembunyikan ego dalam kemasan visi-misi.

Kesombongan menjadikan kritik sebagai ancaman, dan pujian sebagai bahan bakar. Ia tidak tampak di podium, tapi terasa dalam cara seseorang menolak disanggah.

Berani Memimpin, Siap Mengikuti

Paradoks kepemimpinan: antara ideal dan realitas. Pemimpin sejati bukan yang selalu benar, tapi yang tahu kapan harus diam dan mendengar. Kepemimpinan sejati tidak pernah linier, tidak bisa dijelaskan hanya dengan teori manajemen, strategi komunikasi, atau kekuatan personal.

Kepemimpinan adalah perjalanan penuh paradoks, di mana pemimpin sejati justru diuji bukan saat memimpin, tapi saat harus memilih untuk mengikuti orang orang yang dia pimpin.

Dalam setiap tindakan kepemimpinan, selalu ada ketegangan antara dua kutub yang tampaknya bertentangan. Dan pemimpin sejati adalah mereka yang berani hidup di antara ketegangan itu, bukan menghindarinya.

Paradox dalam kepemimpinan :

Kuat tapi Lembut

Pemimpin harus memiliki ketegasan dan keber- anian mengambil keputusan sulit, tapi juga mampu hadir dengan kelembutan dan empati. Seorang pem- impin sejati dituntut memiliki kekuatan karakter untuk membuat keputusan besar dan menghadapi tekanan, sekaligus kelembutan hati untuk memahami manusia yang dipimpinnya.

“Kekuatan tanpa kelembutan melahirkan tirani, kelembutan tanpa kekuatan menghasilkan kelemahan. Keseimbangan keduanya adalah seni tertinggi dalam mem- impin.”

Pemimpin yang utuh tidak hanya kuat, tapi juga lembut. Ia tidak sekadar mampu mengambil keputusan sulit, tapi juga cukup bijak untuk mendengar suara orang lain. Dalam dirinya, kekuatan tidak berdiri di atas kekerasan, dan kelembutan tidak identik dengan kelemahan. Ia adalah sintesis antara ketegasan dan em- pati, keberanian dan kerendahan hati.

Dalam pengambilan keputusan, ia tidak menunggu semua orang setuju. Ia tahu kapan harus memutuskan, meski itu berarti tidak populer. Namun, keputusan itu tidak diambil dengan arogansi—melain- kan setelah mendengar, merenung, dan mempertim- bangkan dampaknya terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Terhadap bawahan, ia menjaga otoritasnya tanpa mengintimidasi. Ia menetapkan batas dan arah yang jelas, tapi tidak menutup pintu dialog. Ia tahu, otoritas sejati tidak datang dari rasa takut, tetapi dari rasa hormat yang tumbuh karena keteladanan.

Saat dikritik, ia tidak mudah goyah. Tetap berdiri teguh pada nilai-nilai yang diyakini, tapi cukup terbuka untuk belajar dari masukan. Ia tidak alergi pada perbedaan pendapat, karena ia tahu, kritik yang jujur adalah hadiah, bukan ancaman.

Dalam situasi krisis, ia hadir sebagai jangkar, tidak panik, tidak kabur dari medan. Ia tahu bagaimana menjadi penentu arah saat segalanya terasa kacau. Tapi ia juga hadir secara emosional—menenangkan, bukan menyalahkan; mendekap, bukan menghardik.

Dalam berkomunikasi, tidak berbicara dengan putar-putar. Jelas, lugas, dan tegas, tapi nada bicaranya tidak menghakimi. Kata-katanya memberi arah sekaligus harapan, menciptakan ruang aman untuk di- alog, bukan sekadar ruang hampa untuk instruksi.

Visi dan nilai adalah kompasnya. Kepemimpi- nannya konsisten menjaga prinsip, bahkan ketika tekanan datang dari segala arah. Tapi ia tidak kaku, dan tahu, kadang jalan menuju kebenaran perlu pendekatan yang berbeda—selama tujuan dan nilainya tetap dijaga. Dan ketika harus memilih antara diam atau melawan arus, ia tak gentar berdiri sendiri demi prinsip. Menurutnya, perjuangan bukan soal menghancurkan musuh, melainkan menjaga kemanusiaan—termasuk terhadap mereka yang berbeda pandangan.

Berkuasa tapi Melayani

Semakin tinggi posisi seorang pemimpin, se- makin besar tanggung jawabnya untuk melayani yang dipimpinnya, bukan sebaliknya. Ini paradoks yang pal- ing sering dilupakan dalam sistem kekuasaan kita. Kepemimpinan sejati tidak dilandasi oleh hak untuk memerintah, melainkan oleh kesediaan untuk mela- yani.

Inilah ironi terbesar: seorang pemimpin me- megang    kekuasaan,    tetapi    kekuasaan    itu    harus digunakan untuk kepentingan orang lain bukan dirinya. “Kekuasaan yang tidak dibarengi pelayanan menjadi penindasan. Pelayanan tanpa kekuasaan menjadi niat mulia yang tak efektif. Gabungan keduanya adalah inti dari kepemimpinan otentik.”

Ada sejumlah dimensi untuk dapat melihat kepemimpinan yang berkuasa dan kepemimpinan yang melayani, diantaranya dari: arah dan kendali, pengambilan keputusan, relasi dengan anggota tim, simbolisme, motivasi utama, tanggung jawab dan persepsi public.

Kepemimpinan yang berkuasa arah kendalinya ditentukan sepenuhnya oleh sang pemimpin, bawahannya hanya mengikuti saja. Sementara kepemimpinan yang melayani, pemimpinnya mendengarkan apa masukan dari bawah dan mengarahkan sesuai kebutuhan bersama.

Dalam pengambilan keputusan, untuk pemimpin dengan rasa penguasa kecendrungannya: terpusat, cepat, tapi sering mengabaikan masukan. Se- mentara pemimpin yang melayani lebih partisipatif, mungkin pengambilan keputusan sedikit lebih lama, tetapi lebih meningkatkan rasa kebersamaan.

Relasi atau hubungannya dengan anggota tim ketika pemimpin berkuasa, relasinya hierarkis, jaraknya terjaga. Sementara pemimpin yang melayani: ada rasa dekat, saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Dari sisi motivasi, untuk pemimpin dominan berkuasa akan menjaga kendali dan posisinya. Sementara pemimpin yang melayani akan lebih memberdayakan dan mengembangkan anggotanya.

Berkaitan dengan tanggung jawab bagi pemimpin yang kuasa akan menghindari kesalahan atau melemparkannya kepada bawahan. Tetapi pemimpin yang melayani, memikul tanggung jawab secara penuh, melindungi timnya. Dari sisi persepsi, public melihatnya pemimpin yang berkuasa itu tegas, kadang dinilai otoriter, sementara pemimpin yang Melayani, terlihat humanis, kadang dianggap kurang “kuat” oleh sebagian orang.

Pemimpin yang berkuasa memberi visi, menetapkan strategi, dan menentukan prioritas. Ia memegang kendali atas arah perjalanan tim atau bangsa. Tapi pemimpin yang melayani membantu setiap orang dalam tim memahami makna peran mereka. Ia tidak hanya memberi arah, tapi juga menyalakan semangat dari dalam.

Dalam pengambilan keputusan, pemimpin yang berkuasa bisa bersikap otoritatif—berani mengambil risiko besar ketika diperlukan. Tapi pemimpin yang melayani tidak sekadar mengambil keputusan dari atas menara gading. Ia melibatkan aspirasi, mempertimbangkan dampak terhadap orang-orang yang akan pal- ing merasakannya.

Hubungan dengan rakyat atau tim pun mencerminkan dua wajah ini. Ada yang dihormati karena jabatannya—karena ia berada di posisi tinggi dan punya kewenangan. Tapi ada juga yang dihormati karena integritas dan kepeduliannya. Penghormatan itu tumbuh bukan dari struktur, melainkan dari keteladanan dan kedekatan.

Simbolisme dalam kepemimpinan juga berbeda. Pemimpin yang berkuasa sering tampil di atas, dikenal luas, mewakili kemegahan dan kekuasaan. Tapi pemimpin yang melayani turun ke bawah, hadir langsung di tengah rakyat atau timnya. Ia tidak takut berdebu, tidak canggung duduk di kursi reyot, tidak merasa kehilangan martabat ketika harus menyapa yang kecil.

Dan tanggung jawab itu pun terbagi. Pemimpin berkuasa bertanggung jawab atas struktur dan hasil. Tapi pemimpin yang melayani sadar, ada hal yang lebih penting dari angka: manusia, nilai, dan kehidupan yang tersentuh oleh keputusannya.

Pada akhirnya, bagaimana publik melihat mereka juga berbeda. Pemimpin berkuasa sering dilihat sebagai pemilik otoritas. Tapi pemimpin yang melayani—ia dirasakan sebagai pelayan, seseorang yang hadir bukan untuk mengatur, tapi untuk mengangkat.

Yakin tapi Terbuka

Pemimpin harus punya keyakinan atas visinya, namun tidak menutup diri dari kritik, masukan, dan koreksi. Gatoloco akan berkata: “Pemimpin kok gampang tersinggung, piye toh?”. Seorang pemimpin harus memiliki keyakinan atas visi dan prinsipnya itulah pondasi integritas.

Namun pada saat yang sama, ia juga harus terbuka terhadap masukan, kritik, bahkan koreksi itulah sumber pembelajaran dan pertumbuhan. Keyakinan tanpa keterbukaan menjadi dogmatis dan kaku, keterbukaan tanpa keyakinan menjadi bingung dan mudah dipengaruhi. Keseimbangan keduanya adalah menjadi pemimpin yang teguh namun terus bertumbuh.

Kepemimpinan sejati hidup dalam ketegangan kreatif antara keyakinan yang teguh dan keterbukaan yang rendah hati. Dua sisi ini bukanlah lawan, tapi penyeimbang. Pemimpin yang hanya yakin, tapi tak terbuka, bisa terjebak dalam dogma. Tapi pemimpin yang hanya terbuka, tanpa keyakinan, mudah hanyut dalam arus opini.

Pemimpin yang yakin memegang prinsip sebagai kompas. Ia konsisten, tidak mudah digoyahkan oleh tekanan opini publik. Ia berani mengambil keputusan meski tidak populer, karena tahu ke mana harus melangkah. Dalam komunikasinya, ia tegas, tidak berputar-putar. Ia punya kerangka berpikir yang kuat, yang membantunya menyaring informasi dan menjaga arah tetap lurus.

Namun, keyakinan yang tak disertai kerendahan hati bisa menjadi keangkuhan. Di sinilah pentingnya sisi terbuka. Pemimpin terbuka tidak merasa paling tahu. Ia mendengar sebelum bicara, bertanya sebelum memutuskan. Ia mampu mengevaluasi asumsi yang ia pegang, dan mau mengubah pendekatan jika keadaan menuntut. Ia tahu bahwa dunia berubah, dan bahwa kebenaran pun kadang berwajah baru.

Dalam hubungan dengan rakyat atau tim, pemimpin yang yakin memberi arah yang jelas. Tapi pemimpin yang terbuka mengajak berdiskusi tentang arah itu—agar yang dipimpin bukan hanya patuh, tapi juga paham. Ia tidak mengklaim kebenaran, tapi mengundang orang lain untuk ikut menciptakannya.

Berprinsip tapi Adaptif

Prinsip adalah fondasi moral, tapi dalam realitas yang dinamis, pemimpin juga dituntut untuk lentur dan kontekstual. Ini bukan soal kompromi nilai, tapi kecer- dasan menavigasi kenyataan. Seorang pemimpin sejati harus berpegang pada prinsip, nilai, dan integritas yang tidak bisa ditawar.

Tapi ia juga harus cukup adaptif, lentur terhadap perubahan zaman, teknologi, dan dinamika sosial yang cepat berubah. Tanpa prinsip pemimpin kehilangan arah. Tanpa adaptasi pemimpin ditinggal zaman. Keseimbangan keduanya menciptakan kepemimpinan yang relevan dan berkarakter./D.Wijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *