Pertanyaan mendasar yang terus menghantui: Mengapa kita ada? Untuk apa hidup ini diberikan kepada kita? Pertanyaan ini tidak hanya milik para filsuf, tetapi pernah dan sering juga muncul dalam hati setiap orang walau teknologi sidah modern.
Keberadaan bukan sekadar fakta bahwa manusia hidup dan bernapas; ia menyiratkan hubungan yang rumit diantara mereka, dunia, dan sesuatu yang lebih besar: entah itu Tuhan, alam semesta, atau nilai-nilai yang di anut. Memahami makna keberadaan berarti berani menghadapi misteri, mengakui keterbatasan diri, namun tetap mencari arah.
Memaknai keberadaan hidup manusia dilihat dari empat perspektif:
1. Perspektif Eksistensial
Pemikiran eksistensialisme pertama kali dikenalkan oleh Soren Kierkegaard (Eksistensialisme Religius) pada abad 19. Fokus pemikirannya bertumpu kepada keberadaan individu dalam hubungannya dengan Tuhan. Baginya, manusia mengalami kegelisahan eksistensial karena sadar akan kebebasan dan pilihan hidup. Namun, makna sejati hidup ditemukan ketika seseorang melakukan “lompatan iman” (leap of faith) — yakni penyerahan diri secara pribadi kepada Tuhan.
Teori eksistensialisme kemudian pada abad ke-20 (1905–1980) dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre (Eksistensialisme Ateistik) yang menolak keberadaan Tuhan sebagai sumber makna hidup. Prinsip utamanya: “existence precedes essence” — keberadaan manusia mendahului hakikatnya. Karena tidak ada Tuhan, manusia sepenuhnya bebas dan bertanggung jawab untuk menciptakan maknanya sendiri. Tidak ada kodrat bawaan atau rencana ilahi yang mengarahkan hidup manusia. Sartre menekankan otentisitas: hidup secara jujur dan sadar atas kebebasan serta tanggung jawab sendiri, bukan meniru nilai orang lain (bad faith).
Inti pandangannya: Kierkegaard menekankan makna hidup melalui iman dan hubungan dengan Tuhan, sementara Sartre menekankan makna hidup melalui kebebasan dan tanggung jawab individu tanpa campur tangan ilahi. Kedua perspektif menyoroti beban eksistensial manusia. Sama-sama mengajak manusia untuk menghadapi kegelisahan, mengambil keputusan sadar, dan bertanggung jawab atas eksistensinya.
2. Perspektif Teistik
Dalam pandangan teistik, keberadaan manusia tidak muncul secara acak atau tanpa arah. Hidup diyakini berasal dari dan berada di bawah kendali Tuhan atau kekuatan transenden yang memiliki tujuan pasti bagi setiap makhluk. Dalam kerangka ini, makna hidup bukanlah sesuatu yang kita ciptakan sepenuhnya sendiri, tetapi sesuatu yang sudah ada sejak awal, ditempatkan oleh Sang Pencipta.
Hidup dipandang sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, yang tidak selalu dapat kita pahami sepenuhnya. Setiap orang memiliki peran unik dalam skenario ini, dan perjalanan hidup adalah proses menemukan peran itu, memahami panggilan kita, dan menjalaninya sesuai rencana-Nya.
Perspektif ini memberi arah: kita tidak berjalan sendirian, dan hidup kita tidak sia-sia karena memiliki tempat dalam keseluruhan rancangan kosmik. Namun, ia juga menuntut ketaatan moral dan spiritual, kesediaan untuk mengikuti pedoman Ilahi meski kadang bertentangan dengan keinginan pribadi.
3. Perspektif Absurd
Albert Camus berpendapat bahwa dunia ini pada dasarnya tidak memberikan makna yang inheren. Manusia tetap mencari arti di tengah absurditas ini, dan keberanian untuk “hidup meski tanpa kepastian makna” justru menjadi inti dari keberadaan.
Albert Camus memandang bahwa hidup berada antara dua hal yang berlawanan: hasrat manusia untuk menemukan makna dan kenyataan bahwa dunia ini tidak menyediakan makna yang pasti. Inilah yang disebut absurditas.
Bagi Camus, absurditas bukan berarti hidup itu sia-sia, melainkan fakta bahwa pertanyaan “untuk apa kita ada?” dialam semesta ini tidak ada jawaban yang final. Dunia tidak punya tujuan yang pasti, namun manusia terus-menerus terdorong untuk mencari makna, apa arti hidup ini.
Camus mengajak kita untuk mengakui absurditas itu dan tetap memilih untuk hidup, dan menyadari: Bahwa makna tidak dijamin oleh alam atau Tuhan, makna pribadi melalui pengalaman, karya, dan pilihan sadar. Bahwa perjalanan hidup itu sendiri tanpa menunggu makna “resmi” dari luar diri.
4. Perspektif Relasional
Perspektif relasional berpandangan bahwa keberadaan dipandang lahir dari keterhubungan kita dengan orang lain, komunitas, dan bahkan dengan seluruh alam semesta. Hidup dipandang sebagai jaringan hubungan timbal balik yang membentuk identitas dan nilai kita.
Makna hidup muncul ketika kita berinteraksi, memberi kontribusi, dan membangun ikatan yang saling memperkaya. Kebaikan, kasih, solidaritas, dan kepedulian menjadi pusat pandangan ini. Dalam kerangka ini, keberadaan bukan hanya tentang “siapa saya” tetapi juga “bagaimana saya hadir bagi yang lain” dan “apa dampak saya terhadap dunia”.
Perspektif ini menekankan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, identitas dan tujuan kita dibentuk, diuji, dan dimaknai melalui hubungan. Bahkan, bagi sebagian pemikir, hubungan dengan alam dan seluruh ekosistem juga menjadi bagian dari keberadaan yang bermakna. (D. Wijaya/ Gatoloco Modern, Kepemimpinan & Kekuasaan)
