D.Wijaya

Ada orang yang bermimpi mencapai puncak hidup—entah itu berupa kesuksesan, ketenaran, kedalaman spiritual, atau sekadar kenyamanan hidup. Namun, tak ada satu pun dari kita yang benar-benar tahu bentuk jalan menuju puncak itu, dan puncak itu dimana. Kita hanya belajar ketika mulai melangkah.

Hidup bukanlah garis lurus yang rapi dan diprediksi. Ia lebih mirip jalur pendakian yang kadang licin, kadang curam, dan sering kali penuh kejutan. Di satu titik, kita mungkin merasa berada di jalur yang tepat, penuh keyakinan. Di titik lain, kita berhenti bimbang di persimpangan, bertanya apakah langkah sebelumnya adalah keputusan yang keliru.

Namun, justru momen-momen itu—keterlambatan, kebimbangan, kejatuhan, dan keberanian bangkit kembali—yang membentuk kita menjadi manusia yang lebih utuh.

Puncak tidak pernah hanya tentang tempat yang dicapai, tetapi tentang perubahan batin yang terjadi sepanjang perjalanan. Ketika kita tersesat, kita belajar berpikir. Ketika kita jatuh, kita belajar bangkit. Ketika kita kehilangan, kita belajar menghargai. Dan ketika kita akhirnya mampu melangkah dengan teguh tanpa tergesa-gesa, di situlah kita mulai memahami bahwa yang kita cari bukan hanya pencapaian, tetapi kedewasaan.

Pada akhirnya, perjalanan hidup bukan hanya tentang menjadi seseorang—tetapi tentang menjadi diri sendiri. Dan puncak itu, entah di mana pun ia berada, bukanlah tujuan terakhir. Ia hanya tempat sejenak menoleh ke belakang, mensyukuri langkah-langkah yang telah ditempuh, lalu melanjutkan hidup dengan lebih bijaksana, lebih lembut, dan lebih sadar.

“Hidup menemukan artinya bukan tiba di tujuan, tetapi dalam transformasi yang terjadi sepanjang jalan. Saat itulah kita tahu: puncak bukan sebuah titik, melainkan cara kita hadir dalam setiap langkah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *