D.Wijaya

            Ada momen di mana spiritualitas yang seharusnya menjadi jalan pulang menuju kedalaman batin berubah menjadi panggung kompetisi. Bukannya menuntun seseorang menuju keheningan jiwa, perjalanan spiritual justru berubah menjadi arena pembuktian, gelar identitas, dan hierarki tak kasat mata: siapa yang lebih suci, siapa yang lebih dekat dengan Tuhan, siapa yang lebih benar. Agama, yang mulanya jembatan, diam-diam menjelma menjadi taruhan ego.

            Fenomena ini semakin terasa ketika praktik spiritual dipamerkan layaknya prestasi: jumlah kitab suci yang dihafal, banyaknya ritual yang dijalankan, kelengkapan atribut keagamaan, atau frekuensi beribadah. Tanpa sadar, ukuran-ukuran luar ini melahirkan ilusi: bahwa kesucian bisa diukur secara kuantitatif. Padahal, perubahan batin tidak pernah lahir dari berapa banyak seseorang berdoa, tetapi dari bagaimana ia hadir dalam doa—apakah ia datang dengan kerendahan hati atau dengan perasaan unggul dibandingkan orang lain.

            Ego religius lahir ketika seseorang merasa telah mencapai tingkat spiritual tertentu dan mulai menilai orang lain dari perspektif pencapaiannya sendiri. Saat itulah, spiritualitas berhenti menjadi perjalanan personal menuju penyadaran, dan berubah menjadi identitas yang harus dipertahankan. Perbandingan pun dimulai. Penghakiman tumbuh diam-diam. Keangkuhan menyamar sebagai kebaikan, dan keyakinan berubah menjadi alat penyekat antara “yang suci” dan “yang tersesat.”

            Yang ironis, ego religius seringkali muncul pada orang yang merasa dirinya paling rendah hati. Mereka mungkin berbicara tentang cinta, toleransi, atau kesederhanaan—tetapi di balik kata-kata itu, ada bisikan kecil: “Aku lebih tahu. Aku lebih suci. Aku lebih dekat dengan Tuhan.” Ego ini licin dan halus, karena ia menyamar sebagai kebenaran, bahkan sebagai pelayanan. Tidak ada yang lebih berbahaya dari keangkuhan yang dipercayai sebagai kesalehan.

            Padahal, spiritualitas sejati tidak menuntut panggung. Ia tidak butuh validasi. Ia tidak mencari penonton. Ia tumbuh sunyi seperti akar pohon—tidak terlihat, namun menopang seluruh kehidupan yang tampak di atasnya. Orang yang benar-benar mengalami kedalaman batin justru semakin merasa kecil, semakin sadar betapa sedikit yang ia ketahui, dan semakin mampu melihat cahaya di dalam diri orang lain—bukan kekurangannya.

            Dalam tradisi banyak kebijaksanaan kuno, disebutkan bahwa orang yang mendekat kepada Tuhan akan memancarkan kesederhanaan, kelembutan, dan keheningan batin. Bukan karena ia menahan diri, tetapi karena ia telah melewati lapisan-lapisan keakuan yang selama ini menjadi penghalang. Di titik itu, ia tidak lagi merasa perlu memenangkan apa pun, termasuk kebenaran. Ia tidak lagi melihat perbedaan sebagai ancaman, tetapi sebagai ekspresi unik dari Misteri yang sama.

            Karena itu, spiritualitas bukan perlombaan. Tidak ada garis finish. Tidak ada pemenang. Yang ada hanyalah perjalanan tanpa akhir menuju kedalaman yang terus memanggil, menuju Tuhan yang tak pernah bisa diklaim. Jika seseorang merasa telah sampai, itu justru pertanda bahwa ia telah tersesat dalam lorong egonya sendiri.

            Pada akhirnya, mungkin yang perlu kita tanyakan bukan: “Apakah aku lebih spiritual dari orang lain?” tetapi: “Apakah hari ini aku menjadi lebih manusia daripada kemarin—lebih sabar, lebih lembut, lebih penuh belas kasih?”

            Sebab spiritualitas yang sejati tidak meninggikan ego. Ia meluruhkannya—hingga yang tersisa bukan lagi identitas keagamaan yang bising, melainkan kehadiran yang hening, tulus, dan menerima. Sebab yang mencari Tuhan bukanlah ego kita—melainkan sisi paling rapuh dan paling jujur dalam diri: hati yang ingin kembali pulang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *